OPINI: DEGRADASI PENGEMBANGAN JASA KONSTRUKSI NASIONAL – ANTARA KEBIJAKAN BEBAS DAN KEHILANGAN IDENTITAS PROFESIONAL DAERAH

IBNUL WATONI, S.Sos, S.H., M.M. C.Med.
Pemerhati Jasa Konstruksi
Dalam perjalanan panjang pembangunan nasional, sektor jasa konstruksi memiliki peran yang sangat vital. Tidak hanya sebagai penopang infrastruktur fisik, tetapi juga sebagai pilar penting dalam membangun peradaban bangsa. Sayangnya, dalam beberapa tahun terakhir, kita menyaksikan adanya degradasi serius dalam pengembangan jasa konstruksi, khususnya dari sisi pembinaan sumber daya manusia dan kelembagaan profesi di daerah. Hal ini berkaitan erat dengan kebijakan pemerintah yang memberikan kebebasan penuh dalam penerimaan keanggotaan asosiasi tanpa mempertimbangkan konteks sosiologis dan struktur representasi profesi di tingkat Provinsi/kabupaten/kota.Dalam perspektif ilmu sosial, asosiasi bukanlah sekadar entitas administratif, tetapi adalah wadah sosial yang memungkinkan terjadinya pertukaran gagasan, koordinasi, advokasi, dan regenerasi profesional. Ketika profesional di provinsi/kabupaten/kota tidak lagi memiliki "induk" asosiasi yang membumi, maka yang terjadi adalah hilangnya konektivitas antara pelaku jasa konstruksi dengan stakeholder lokal, baik pemerintah daerah, perguruan tinggi, maupun sektor swasta lainnya.
Konsep gemeinschaft dan gesellschaft dari Ferdinand Tönnies menggambarkan betapa pentingnya komunitas berbasis kebersamaan nilai dan pengalaman. Ketika asosiasi hanya berorientasi pada "keanggotaan bebas" dan pemusatan struktur organisasi di tingkat nasional tanpa akar daerah, maka yang lahir adalah struktur gesellschaft yang kering akan ruh kolektifitas. Para profesional daerah menjadi atom-atom terpisah tanpa jembatan komunikasi, koordinasi, dan penguatan kapasitas bersama.
Undang-Undang No. 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi dengan jelas mengatur mengenai peran asosiasi profesi dan asosiasi badan usaha dalam pembinaan dan pengembangan jasa konstruksi nasional. Terdapat atribusi dan pendelegasian yang tegas dari negara kepada asosiasi dalam hal pembinaan kompetensi, sertifikasi, dan pengembangan keprofesian berkelanjutan.Namun ironisnya, implementasi regulasi tersebut justru tidak mengindahkan semangat desentralisasi pembinaan yang mestinya menjadi landasan sistem negara kesatuan yang menganut otonomi daerah. Dengan dalih kebebasan berserikat, asosiasi dibentuk berdasarkan kehendak pusat semata. Ini bertentangan dengan prinsip yang diatur dalam UU Jasa Konstruksi tentang pendelegasian fungsi dan peran pembinaan ke tingkat daerah.
Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) yang berada di bawah Kementerian PUPR seolah hanya menjadikan asosiasi sebagai alat verifikasi administratif untuk akreditasi dan pendirian lembaga sertifikasi. Padahal, sejatinya fungsi asosiasi jauh lebih dari itu: yakni sebagai agent of change dalam transformasi konstruksi nasional.
Dalam kacamata filsafat, kita mengenal dikotomi eksistensi dan esensi. Eksistensi menyangkut keberadaan lahiriah, sedangkan esensi menyangkut tujuan hakiki dari keberadaan tersebut. Kebijakan organisasi terpusat yang menekankan eksistensi – seperti keanggotaan massal, akreditasi LPJK, dan pendirian lembaga sertifikasi – justru melupakan esensi dari organisasi profesi, yakni pembangunan nilai, integritas, kompetensi, dan kemandirian.Ketika eksistensi menjadi tujuan, maka asosiasi berubah menjadi pasar keanggotaan. Profesionalisme diganti dengan statistik. Kualitas dikorbankan demi kuantitas. Padahal, Immanuel Kant mengingatkan bahwa manusia – termasuk profesi – tidak boleh menjadi alat semata, melainkan tujuan pada dirinya sendiri (end in itself). Jika asosiasi kehilangan arah, maka negara kehilangan fondasi profesionalnya.
Waktunya negara berpikir secara jangka panjang dan struktural. Pembangunan jasa konstruksi bukan hanya soal bangunan, melainkan soal membangun manusia dan sistem. Pemerintah harus:
- Merevisi kebijakan keanggotaan bebas dan
memulihkan kembali fungsi asosiasi bercabang sebagai pusat gravitasi
profesional daerah.
- Menegaskan implementasi atribusi dan
pendelegasian UU Jasa Konstruksi secara adil dan berimbang, agar
pembinaan harus ada setiap daerah sampai ke pelosok disetiap Provinsi/Kabupaten/Kota.
- Mendorong kebijakan penguatan sumber daya jasa
konstruksi melalui program strategis berkelanjutan yang melibatkan
asosiasi, dunia pendidikan, dan pelaku usaha di Provinsi dan setiap
Kabupaten/Kota.
- Menata ulang peran LPJK agar tidak sekadar
menjadi verifikator administrasi, tetapi motor pembinaan dan penguatan
ekosistem konstruksi daerah Provinsi/Kabupaten/Kota.
Degradasi dalam jasa konstruksi bukanlah takdir, melainkan hasil dari serangkaian kebijakan yang tercerabut dari akar sosial dan hukum. Jika negara ingin membangun Indonesia Emas 2045, maka pembinaan sumber daya jasa konstruksi harus dimulai hari ini – dengan konsep yang matang, regulasi yang adil, dan kesadaran filsafati bahwa manusia bukanlah alat, tetapi inti dari pembangunan itu sendiri. ibn- Merevisi kebijakan keanggotaan bebas dan
memulihkan kembali fungsi asosiasi bercabang sebagai pusat gravitasi
profesional daerah.