Penulis : Irwan Susilo, Sekretaris DPP Inkindo Jatim.
Sekarang itu ya sekarang bukan nanti. Sekarang juga bukan kemarin. Itulah sekarang, bagian dari dimensi waktu. Sekarang itu disusun oleh sekat-sekat ruang dan waktu. Kita berada dari sekarang ke sekarang berikutnya.
Dalam setiap selang waktu dan koridor ruang itulah kita membuktikan kalau kita ada atau sebaliknya. Coba renungkan hingga pada usia kita saat ini, berapa tahun kita ada. Kita berbuat pada selang waktu “sekarang”, yang membuktikan kalau kita ada. Entah sekarang saat ini, sekarangnya kemarin, atau sekarangnya dulu. Hanya pada selang waktu “sekarang” kita bisa berbuat. Kemarin dan masa lalu adalah produk “sekarang”.
Saya tidak sedang mengajak anda membahas obyektifitas waktu relatifnya Einstein. Saya mengajak anda memandang waktu “sekarang” secara subyektif. Agar kita bisa berbuat dan tetap ada. Mari kita melihat subyektif waktu “sekarang” itu sendiri dengan ilustrasi berikut.
Subyektifitas Sekarang
“Ademe Gunung Merapi Purbo, sing ning Nglanggeran Wonosari Yogyakarta”. Petikan lirik lagu “Banyu Langit” yang dipopulerkan Didi Kempot tersebut saya yakin sangat familiar di telinga. Pertanyaannya, memang ada gunung merapi purbo/gunung api purba? Menurut ahli, Gunung Nglanggeran sudah mati dan berumur 35-25 juta Tahun Lalu (TL). Ada gunung api purba, tentu ada gunung api aktif saat sekarang. Galunggung, Merapi, Semeru, Ijen adalah sebagian contoh gunung api aktif saat sekarang ini di Jawa. Dalam dunia kegunungapian, jangan kaget kalau kategori “sekarang” adalah kurang lebih 1.8 juta TL hingga detik ini atau sering disebut jaman Kuarter.
Bagi geolog sesar/patahan aktif adalah patahan yang menunjukkan pergerakan sekarang ini. Kontek “sekarang” dalam patahan aktif adalah mulai 10.000 TL.
Bagi anda penggemar herbal, kontek “sekarang” akan beda lagi. Jangan harap memperoleh khasiat herbal dalam 2-3 hari seperti minum obat medik. Sekarang dalam kontek herbal adalah kurang lebih 21 hari rutinitas memanfaatkan herbal untuk mendapatkan efek herbal yang nyata jangka panjang.
Bagi East Japan Railway Company (EJRC) operator kereta cepat Shinkansen, “sekarang” adalah 12 detik yang sangat berharga. Itulah waktu yang tersedia dari Early Warning System (EWS) untuk menghentikan 19 kereta cepat yang sedang beroperasi dari 27 kereta yang ada. Selang waktu untuk mengupayakan keselamatan kereta dan penumpang dari gempa dahsyat skala M9 yang menghantam Tohoku 11 Maret 2011. Berhasil!
Makna Sekarang
Dari contoh di atas makna “sekarang” sangat subyektif dan berbeda durasi dari jutaan tahun hingga detik bahkan hingga seperdetik. Kesamaannya adalah semuanya mengandung hal penting saat selang waktu tersebut ada tindakan yang memaknai baik alamiah maupun manusiawi.
Demikian pula bagi yang gagal memaknai selang waktu “sekarang” tersebut akan dianggap tidak ada atau mati. Gunung Nglanggeran yang tidak aktif selama kuarter dianggap mati. Patahan/sesar yang tidak aktif dalam 10.000 TL dianggap tidak aktif. Anda yang gagal memenuhi ambang kira-kira 21 hari dalam menggunakan herbal akan gagal mengambil manfaat herbal yang sebenarnya. Tidak terbayang tragedi saat EJRC lalai memanfaatkan 12 detik untuk menghentikan Shinkansen.
Itulah dimensi “sekarang” yang sangat subyektif dalam sekat ruang dan waktu yang sangat relatif.
Sekarang mengandung makna aktif, berbuat atau mengisi. Jika anda diam maka sekarang akan hampa dan anda tidak ada. Descrates seorang filsuf Yunani mengatakan “Aku Berpikir, Maka Aku Ada“.
“Sekarang” juga bukan masalah durasi saja. Durasi bisa sangat panjang, pendek, bahkan secepat kilat. Mengisi durasi “sekarang” adalah proses menciptakan value atau tata nilai bagi kehidupan yang lebih baik.
Sekarang ini kita berapa pada saat pandemi COVID-19. Kita tidak tahu selang waktu “sekarang” ini berujung sejauh mana. Bisa jadi sekarang ini terasa aneh dibanding “sekarang” sebelum sebelumnya. Benar sesuai pendapat ahli, kita dihadapkan pada realitas baru dan tatanan baru.
Dalam mengisi selang waktu “sekarang” ini, kita dihadapkan pada beberapa pilihan. Abai atau cuek pada kondisi yang ada, diam, atau beradaptasi dalam selang waktu sekarang ini. Kalau cuek maka kita akan hancur, pandemi telah memporak-porandakan sendi dan tatanan kehidupan. Diam hanya membuat kita beku. Adaptasi akan membuat kita selamat. Berjuta-juta tahun alam mengajarkan hanya yang beradaptasi yang mampu bertahan dari seleksi alam.
Sekaranglah kita memupuk jiwa kemanusiaan dan solidaritas, bukan nanti. Sekaranglah kita berubah berkompromi dan berdamai dengan tatanan baru, bukan nanti. Sekaranglah kita mengasah ilmu dan keahlian untuk peradaban baru, bukan nanti. Sekaranglah kita belajar dari keadaan sulit saat ini, bukan nanti. Sekaranglah saat berbuat, menyingkirkan ratapan, bukan nanti.
Sekaranglah saat kita menyelaraskan urusan atau bisnis kita dengan peluang dan tantang baru, bukan nanti.
Yang kita punyai adalah sekarang bukan nanti. Nanti itu tidak berujung. Nanti itu seperti bersandar pada bayangan di pekatnya malam. Lantas apakah anda sudah memaknai selang waktu sekarang anda? The key is in not spending time, but in investing it. – Stephen R. Covey. (irw/0520)